TARAKAN, TerasKaltara.id – Putusan Bawaslu mencoret nama EH sebagai calon legislatif (caleg) dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) dinilai sulit untuk di eksekusi.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, Prof Yahya Ahmad Zein putusan tersebut sebagai putusan non ececutable atau tidak bisa di eksekusi.
“Tahapan proses penetapan DCT telah lewat dan jika dilakukan pembatalan maka akan mengganggu proses yang sudah berjalan. Dampaknya sangat luas,” ujarnya, Rabu (3/4/2024).
Ia tambahkan, jika SK DCT dibatalkan berarti caleg EH seharusnya tidak bisa ikut Pemilu. Maka secara otomatis suara masyarakat yang memilih EH dianggap tidak ada atau tidak sah.
“Otomatis yang bersangkutan harusnya tidak bisa ikut pemilu. Publik sudah meletakkan suaranya. Jadi dia complicated sebenarnya. Maka suara publik yang memilih dia seharusnya tidak ada, kan begitu logika hukumnya,” tuturnya.
Selain itu, norma yang disebut dalam putusan Bawaslu, pembatalan penetapan calon mengacu pada pasal 280 dan pasal 284 Undang-Undang 7 tahun 2017, hanya terkait pelanggaran selama masa kampanye.
“Dalam pasal 285 itu jelas menyebutkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai pasal 280 dan 284. Berarti itu bisa digunakan sebagai dasar KPU untuk membatalkan nama calon anggota atau pembatalan penetapan terkait dengan pelanggaran seseorang. Pelanggarannya itu sudah ada di pasal 280 dan 284,” ungkapnya.
Baca Juga : KPU Tarakan Pastikan Eksekusi Hasil Koreksi Bawaslu RI
Ia katakan lagi, tidak ada tindak pidana pemilu yang bisa dijadikan dasar melakukan pembatalan penetapan sesuai pasal 280 dan 284.
Hanya saja, terhadap putusan Bawaslu apakah sukap KPU akan melaksanakan atau tidak. Meski, kata dia ada beberapa ketentuan jika KPU tidak melaksanakan bisa dikenakan kode etik.
Lalu, Yahya mempertanyakan bagaimana pelaksanaan eksekusi putusan tersebut. Hal ini karena Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan penetapan calon.
“Hasil koreksi Bawaslu RI pun dianggap tidak berhubungan dengan pembatalan penetapan calon,” tandasnya.
Namun, dijelaskan Yahya dalam putusan pengadilan ada yang istilah non executable atau tidak bisa dieksekusi. Ia pun pertanyakan bagaimana pola pelaksanaan eksekusu dilakukan KPU
“Jadi putusan Bawaslu itu bukan untuk membatalkan. Putusan yang dikuatkan Bawaslu RI itu juga tidak terkorelasi dengan pembatalan,” bebernya.
Menurutnya lagi, dalam putusan tersebut menyatakan terlapor EH tidak memenuhi syarat sebagai DCT tetapi tidak ada kejelasan konsekuensi yang diterima terlapor atas putusan tersebut.
“Konsekuensinya bagaimana. Putusan Bawaslu itu out of date. Sudah lewat waktunya. Bagaimana cara melaksanakannya. Sulit untuk dilaksanakan,” tandasnya.
Ditambah lagi, saat ini tidak ada landasan hukum untuk dilakukan pembatalan penetapan calon. Perkara EH ini pun seharusnya masuk di ranah sengketa proses saat masa pencalonan.
Bawaslu seharusnya juga memahami perkara EH yang sudah masuk dalam sengketa proses dan bukan lagi dalam penanganan Bawaslu.
“Perkara EH ini masuk di ranah sengketa proses, tidak boleh keluar dari itu. Tapi sengketa proses yang telat. Itu harusnya awal-awal pada saat proses pencalonan sebelum dia ditetapkan sebagai DCT,” pungkasnya.
Bahkan konsekuensi pembatalan penetapan calon ini bisa berakibat pada perolehan kursi partai. Selanjutnya bisa menganggu sistem demokrasi di Indonesia.
Dalam sistem pemilu di Indonesia, ada tahapan-tahapan yang harus bisa dilaksanakan dengan benar.
“Hati-hati mengkoreksi tahapan yang diawal, sementara sudah terikat dengan ketentuan tahapan yang lain. Sistem pemilu kita ini jadi pembelajaran untuk KPU, Bawaslu, untuk publik juga. Jangan gampang memutuskan tapi tidak tahu konsekuensi dari putusan tersebut. Itu penting,” tegasnya. (*/saf)