Duel Hukum Pembalakan Hutan Sumbar: Novermal Yuska Diperiksa Polda, Budi Satriadi Merasa Dicemar

pembalakan liar di Hulu Sungai Batang Bayang

TERASKALTARA.ID, SUMBAR — Polemik dugaan pembalakan liar di Hulu Sungai Batang Bayang kembali memanas setelah Anggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan, Novermal Yuska, dipanggil penyidik Polda Sumbar atas laporan pengusaha kayu, Budi Satriadi. Laporan tersebut berkaitan dengan unggahan Novermal di media sosial yang menyoroti aktivitas pembalakan di kawasan Sariak Bayang, Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek, Kecamatan Danau Kembar, Kabupaten Solok.

“Saya akan dimintai keterangan terkait Pasal 45 ayat (4) Jo Pasal 27A UU No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,” ujar Novermal Yuska yang juga tim hukum JMSI Pusat ini.

Sebagai warga negara yang taat hukum, ia menyatakan siap memenuhi panggilan penyidik pada Senin, 1 Desember 2025.

Kasus ini bermula dari laporan Budi Satriadi yang merasa kehormatan dan nama baiknya tercemar setelah Novermal memposting kritik tentang dugaan pembalakan liar yang dilakukan di kawasan hulu sungai. Menurut Novermal, pembalakan tersebut merusak lingkungan dan berpotensi memicu bencana banjir bandang.

Perlu diketahui, lokasi pembalakan telah disegel Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sumatera. Kayu hasil pembalakan serta alat berat yang digunakan telah diamankan, dan proses hukumnya kini naik ke tahap penyidikan.

Novermal menjelaskan bahwa sebagai anggota DPRD yang menyoroti dampak lingkungan dari pembalakan, ia memperoleh perlindungan Hak Imunitas.

“Saya tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, atau pendapat yang dikemukakan, baik lisan maupun tertulis, baik di dalam maupun di luar rapat DPRD, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dewan sebagaimana diatur Pasal 176 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda,” tantang Novermal.

Ia juga menegaskan bahwa upayanya memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata sebagaimana Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.

“Saya mempersoalkan pembalakan tersebut karena lokasinya berada di daerah aliran sungai (DAS) dan daerah tangkapan air (DTA) hulu sungai Batang Bayang. Dan, kayu-kayu yang ditebang berada di perbukitan dengan kelerengan sangat curam. Parahnya lagi, pembalakan seluas 150-an hektar tersebut tidak didukung dengan dokumen UKL/UPL atau Amdal. Kondisi ini saya kuatirkan bisa memicu bencana banjir bandang, dan mengancam keselamatan puluhan ribu masyarakat Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan,” ungkapnya.

Temuan di lapangan menguatkan kekhawatiran tersebut. Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sumatera menemukan penebangan kayu di luar izin PAHT seluas 83 hektar. Sementara Dinas SDA-BK Provinsi Sumbar mencatat kerusakan hutan mencapai 159 hektar.

Sebelumnya, kawasan pembalakan merupakan hutan suaka alam dan wisata (SAW). Untuk pembangunan jalan tembus Alahan Panjang Solok – Bayang Pesisir Selatan, kawasan SAW tersebut diputihkan menjadi APL sekitar 1.000 hektar. Namun, tapak jalan itu kemudian tidak jadi digunakan.

Seorang warga setempat, Syamsir Dahlan, kemudian mengklaim lahan tersebut sebagai tanah ulayatnya dan mengurus izin PAHT untuk pemanfaatan kayu, yang pengelolaannya dikuasakan kepada Budi Satriadi.

Di kawasan itu, kayu hutan primer di daerah aliran sungai dan tangkapan air ditebang masif. Pinggang bukit “dipotong” untuk membuat jalan lansir kayu, sementara potongan balok kayu berserakan di sepanjang tepi sungai. Pembalakan dilakukan menggunakan alat berat seperti excavator dan buldozer.

Pos terkait