(Dr. Markus Maluku, S.Fil., M.Pd.)
Pendahuluan
Kita baru saja menutup Irau ke 11 dan perayaan ulang tahun ke-26 Kabupaten Malinau, yang dihadiri beberapa tokoh nasional seperti, Roky Gerung, Dedy Sitorus dan penyanyi legendaris Iwan Fals. Puluhan ribu masyarakat Malinau memadati Padan Li’u Burung, untuk menyaksikan penampilan penyanyi legendaris itu dan semua berbaur dalam satu rasa syukur, karena Malinau telah memasuki usia yang ke dua puluh enam. Momen, di mana kita semua, terutama pemerintah daerah masuk ke dalam sebuah perhentian sejenak yang bernama: refleksi.
Bagi pemerintah daerah, ulang tahun ke-26 menjadi ajang untuk merefleksi diri sejenak, seberapa jauh kaki Pembangunan telah melangkah untuk mengisi ruang-ruang kehidupan di kabupaten tercinta ini. Tentu saja, muara dari evaluasi ini ada pada dua keputusan, yakni meningkatkan yang sudah tercapai dan memperbaiki yang masih belum sempurna.
Sementara itu, ajang pesta budaya atau Irau yang telah berlangsung selama 20 hari menjadi pusat aktivitas budaya bagi etnis Dayak dan beberapa paguyuban yang memperlihatkan kepada publik betapa kaya dan luhurnya kearifan yang mereka miliki. Pada aktivitas budaya ini, perhatian penulis tertuju kepada eksisitensi Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat merupakan bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Mereka adalah pencipta dan penjaga nilai-nilai luhur, pengetahuan tradisional, serta kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, dalam perjalanan sejarah, Masyarakat Adat sering kali mengalami marginalisasi, kehilangan hak atas tanah, dan terpinggirkan dari proses pembangunan nasional. Padahal, keberadaan mereka memiliki kontribusi besar terhadap pelestarian lingkungan, budaya, dan keberagaman sosial. Oleh karena itu, memulihkan martabat Masyarakat Adat bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga langkah strategis untuk memperkuat fondasi kebangsaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Pemulihan martabat Masyarakat Adat berarti mengembalikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan warga negara, termasuk hak atas tanah, budaya, dan sistem sosial yang mereka miliki. Upaya ini membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan Masyarakat Adat sendiri agar tercipta ruang yang adil dan setara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah Marginalisasi Masyarakat Adat
Sejak masa kolonial, Masyarakat Adat telah mengalami tekanan akibat kebijakan yang menempatkan tanah adat sebagai milik negara atau perusahaan. Setelah kemerdekaan, situasi ini tidak banyak berubah. Banyak wilayah adat diambil alih untuk kepentingan pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan proyek ekonomi berskala besar. Akibatnya, Masyarakat Adat kehilangan ruang hidup, identitas budaya, serta kemandirian ekonomi.
Marginalisasi ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial dan politik. Dalam banyak kasus, Masyarakat Adat tidak diakui secara hukum, sehingga mereka kesulitan memperjuangkan hak-haknya. Padahal, konstitusi Indonesia melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pengakuan terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Pemindahan beberapa kampung dari Lokasi tambang adalah contoh kasus lain, di mana posisi Komunitas Masyarakat Adat sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan untuk memenuhi keinginan eksploitatif terhadap alam. Mentalitas kolonial ternyata masih tetap subur dalam pola pikir dan praksis beberapa penguasa sehingga mereka melihat Masyarakat Adat sebagai tantangan dalam realitas pembangunan.
Kearifan Lokal sebagai Pilar Keberlanjutan
Masyarakat Adat memiliki sistem pengetahuan yang sangat kaya dan relevan dengan tantangan masa kini, terutama dalam hal pengelolaan lingkungan. Prinsip hidup selaras dengan alam, seperti yang tercermin dalam berbagai falsafah adat di Nusantara, menunjukkan bahwa mereka telah lama menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan jauh sebelum istilah itu populer.
Contohnya, sistem pertanian tradisional seperti subak di Bali, ladang berpindah di Kalimantan, atau sasi laut di Maluku, merupakan bentuk pengelolaan sumber daya alam yang menjaga keseimbangan ekosistem. Kearifan lokal ini membuktikan bahwa Masyarakat Adat bukan penghambat pembangunan, melainkan mitra penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan nasional.
Tantangan dalam Pemulihan Martabat
Pemulihan martabat Masyarakat Adat menghadapi berbagai tantangan struktural. Pertama, masih lemahnya pengakuan hukum terhadap wilayah adat. Banyak daerah belum memiliki peraturan daerah yang mengatur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Kedua, konflik agraria yang melibatkan perusahaan besar dan Masyarakat Adat sering kali tidak diselesaikan secara adil. Ketiga, stereotip negatif terhadap Masyarakat Adat masih melekat, seolah mereka tertinggal dan tidak modern.
Selain itu, globalisasi dan modernisasi membawa tekanan baru terhadap budaya dan nilai-nilai adat. Generasi muda Masyarakat Adat sering kali terputus dari akar tradisi karena kurangnya ruang untuk mengekspresikan identitas mereka di tengah arus budaya global. Jika tidak diantisipasi, hal ini dapat menyebabkan hilangnya warisan budaya yang berharga.
Irau Malinau Memulihkan Martabat Masyarakat Adat
Pemulihan martabat Masyarakat Adat harus dimulai dari pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat. Pemerintah perlu mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama diperjuangkan. Undang-undang ini akan menjadi dasar hukum untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat atas tanah, budaya, dan sistem sosial mereka. Selain itu, perlu ada kebijakan afirmatif yang memberikan ruang bagi Masyarakat Adat dalam proses pembangunan. Misalnya, melibatkan mereka dalam perencanaan tata ruang, pengelolaan sumber daya alam, serta pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal. Pendidikan juga menjadi kunci penting. Kurikulum yang menghargai budaya lokal dan bahasa daerah dapat memperkuat identitas generasi muda Masyarakat Adat.
Peran masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah juga sangat penting dalam mendampingi Masyarakat Adat memperjuangkan hak-haknya. Melalui advokasi, pendampingan hukum, dan penguatan kapasitas, Masyarakat Adat dapat lebih berdaya dalam menghadapi tantangan modern.
Di sisi lain, Masyarakat Adat sendiri perlu terus memperkuat solidaritas internal dan memperbarui sistem adat agar tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya. Kolaborasi antar komunitas adat di berbagai daerah dapat menjadi kekuatan kolektif dalam memperjuangkan pengakuan dan keadilan.
Kebijakan pemerintah daerah Malinau untuk menyelenggarakan Irau dua tahunan, adalah sebuah ajang yang sangat strategsi, di mana posisi komunitas Masyarakat Adat diberi ruang untuk memproklamasikan dirinya dalam pelbagai aktivitas budaya yang mereka tampilkan. Kekayaan tiga wujud kebudayaan sebagai: ide, aktifitas dan benda mereka suguhkan ke setiap pengunjung yang datang, justeru mengingatkan kita bahwa Masyarakat Adat adalah tiang utama dari sebuah bangunan yang bernama Republik Indonesia. Maka benar seperti apa yang dikatakan Roky Gerung dari atas Podium Padan Li’u Burung, bahwa Malinau bukan sekedar Lokasi tempat tetapi Malinau berarti prestasi. Pemerintah daerah telah meyakini bahwa Masyarakat Adat merupakan elemen utama dan penting bagi sebuah bangunan Republik ini, sehingga ia selalu membuka ruang dua tahunan untuk setiap Masyarakat Adat mengaktualisasi eksistensinya.
Peran Publik dalam Menghormati Martabat Masyarakat Adat
Pemulihan martabat Masyarakat Adat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat. Kesadaran publik tentang pentingnya keberadaan Masyarakat Adat harus ditingkatkan melalui pendidikan, media, dan ruang-ruang dialog. Menghormati Masyarakat Adat berarti menghargai keberagaman dan memperkuat persatuan bangsa.
Masyarakat luas dapat berperan dengan mendukung produk-produk lokal hasil karya Masyarakat Adat, menghormati wilayah adat saat berkunjung, serta menolak praktik diskriminatif terhadap mereka. Dengan demikian, pemulihan martabat Masyarakat Adat menjadi gerakan bersama yang melibatkan seluruh elemen bangsa.
Penutup
Memulihkan martabat Masyarakat Adat adalah langkah penting menuju Indonesia yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berkepribadian. Pengakuan terhadap hak-hak mereka bukan hanya bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya, tetapi juga investasi bagi masa depan bangsa. Masyarakat Adat telah membuktikan bahwa mereka mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, antara tradisi dan kemajuan.
Dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan seluruh warga negara, martabat Masyarakat Adat dapat dipulihkan secara utuh. Ketika Masyarakat Adat dihormati dan diberdayakan, maka Indonesia sesungguhnya sedang memulihkan jati dirinya sebagai bangsa yang beragam, adil, dan bermartabat. Malinau adalah Indonesia Mini yang telah memulainya.




