MALINAU, TerasKaltara.id – Pemerintah Pusat meletakkan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerah perbatasan, diantaranya di Kabupaten Malinau. Berlatar belakang kebijakan nasional, PSN ini berada di Kawasan Hutan Kayan Mentarang.
Diantaranya ada 2 PSN yang tengah berprogres di Malinau saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang di Kecamatan Mentarang dan PLTA Kayan yang disebut energi hijau di sepanjang Sungai Kayan, Bahau dan Pujungan.
Kepala Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Malinau, Senin (24/6/2024) lalu.
Dalam RDP, bersama Perwakilan 11 Masyarakat Adat menyampaikan sejumlah kebijakan nasional yang menggerus keberadaan masyarakat adat di Malinau.
Ia menilai, konsesi pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) mulai dari penetapan lokasi berdasarkan kebijakan strategis nasional yang mempersempit wilayah adat masyarakat di Kawasan Kayan Mentarang.
“Penetapan lokasi berdasarkan kebijakan strategis nasional mulai dari penetapan lokasi, kemudian program agraria hingga pemberian konsesi kehutanan dan galian mempersempit wilayah adat,” ujarnya, Kamis (27/6/2024).
Sementara hingga saat ini Masyarakat Adat, terutama yang tinggal dan menguasai hak ulayat di Kayan Mentarang, belum ada kepastian terkait pengakuan hutan adat. Pemerintah pusat malah membuat kebijakan yang mengakibatkan luasan wilayah dan hutan yang dimiliki masyarakat adat tergerus.
“Itu (kebijakan nasional) keputusan sepihak. Kebijakan yang dibuat dalam kawasan Kayan Mentarang, seperti pemberian konsesi tanpa sepengetahuan masyarakat. Makin ke sini, kebijakan justru menggerus kami masyarakat adat saat ini,” katanya.
Sedikitnya ada 3 permasalahan utama yang disampaikan masyarakat adat dalam RDP. Mulai dari konsesi Proyek Strategis Nasional di Mentarang Hulu, termasuk di Apau Kayan, Pujungan dan Bahau Hulu.
Selain itu, pihaknya turut mempertanyakan penguasaan negara terhadap kekayaan alam di Kayan Mentarang melalui kebijakan strategis nasional. Hingga pengakuan hutan adat yang belum juga diakui negara melalui pengakuan Hutan Adat.
Ia pun menyinggung soal PSN PLTA Kayan disebut merupakan proyek energi hijau di sepanjang aliran sungai Kayan, Bahau termasuk Pujungan yang pekerjaannya sudah dimulai belum lama ini. Menurutnya ini, kebijakan nasional inilah yang menggerus masyarakat adat.
“Kami, masyarakat adat lebih dulu ada daripada negara. Tanah adat yang ada saat ini adalah warisan nenek moyang kami sejak zaman dulu, dan kami wajib melindunginya dari kesewenang-wenangan ini,” tegasnya.
Hal yang sama turut disampaikan Dolfina, Ketua Badan Pengurus Harian Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kayan Mentarang.
“Keluh kesah yang kami sampaikan merupakan puncak dari ujung kesabaran masyarakat adat. Sampai saat ini, Masyarakat adat Kayan Mentarang justru dijadikan objek bagi negara menguasai hak masyarakat adat dengan dalih Taman Nasional,” ungkapnya.
Menurutnya, kolaboratif yang dimaksud pemerintah tidak memiliki kejelasan dan persamaan persepsi dengan masyarakat. Terlihat saat ini justru tidak ada keterlibatan masyarakat adat.
“Yang ada, masyarakat hanya dijadikan objek oleh negara. Lalu, pengelolaan kolaboratif seperti apa yang dimaksud pemerintah,” tanyanya.
Sementara berdasarkan kajian FoMMa, sejumlah usulan pengakuan hutan adat sampai saat ini masih nihil. Dengan dalih usulan tersebut berada dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) justru dengan mudah melepas beberapa usulan, beralasan kebijakan strategis nasional.
“Ada sejumlah usulan hutan adat yang tidak teridentifikasi LHK. Usulan Hutan Adat Pa’Kinayeh, Pujungan, Bahau Hulu, dan Dayak Tahol. Sebagian katanya karena berada dalam Taman Nasional. Jadi yang punya hak hanya negara? Bagaimana dengan masyarakat adat?,” katanya.
Pihaknya mendesak status Taman Nasional Kayan Mentarang diganti menjadi Taman Adat Kayan Mentarang. Sekaligus menuntut usulan ini disampaikan hingga ke ranah Kementrian.
Rencananya, dalam waktu dekat DPRD akan memfasilitasi usulan untuk disampaikan kepada Kementerian Politik Hukum dan HAM RI.
“Usulan kami sudah disampaikan dalam risalah RDP. Kami meminta hasil RDP bersama 11 perwakilan adat ini oleh DPRD Malinau bisa disampaikan ke ranah Kementrian,” tegasnya. (tk01/saf)