PK Arief Hidayat Ditolak, PH Siapkan Langkah Lanjutan

82c7d6ef 093c 46ab a637 e48eed05c3f7 teraskaltara. Id
Khaeruddin Arief Hidayat (dua dari kanan) saat memberikan surat kepada Presiden terkait kasusnya melalui Masyarakat Profesi Penilai Indonesia, Februari tahun 2023 lalu.

TARAKAN, TerasKaltara.id – Selain Sudarto, dalam perkara kasus korupsi dugaan mark up pembebasan lahan fasilitas kantor Kelurahan Karang Rejo dari APBD Tarakan Tahun 2014-2015 juga menjadikan dua orang lainnya, Khaeruddin Arief Hidayat dan Haryono sebagai terpidana.

Sudarto sudah bebas atas putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), sedangkan untuk Khaeruddin Arief Hidayat dan Haryono masih menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tarakan.

Arief – panggilan Khaeruddin Arief Hidayat juga sudah mengajukan PK atas vonis 3 tahun 6 bulan dan denda Rp200.000.000 subsider 3 bulan, ditambah uang pengganti Rp567.620.000. Namun, berbeda dengan putusan bebas Sudarto, dalam perkara Arief, Majelis Hakim MA malah menolak permohonan PK dari Penasehat Hukum (PH) Arief.

“Saya selaku PH yang menyatakan PK, ada pemberitahuan bukan dari Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, tapi intinya PK ditolak. Kami akan menelaah untuk mengambil langkah yang akan ditempuh. Terlebih lagi dengan putusan MA Sudarto ini,” ujar PH Arief, Salahuddin.

Salahuddin menambahkan, kliennya menyebutkan mark up lahan karang rejo yang dituduhkan kepada kleinnya dan dua orang lainnya, Sudarto dan Haryono sebenarnya menyisakan banyak pertanyaan dengan terbitnya putusan bebas Sudarto.

Menurutnya, kasus ini berawal dari pihak polisi yang melakukan penyidikan dugaan mark up pembebasan lahan yang telah di lakukan oleh Pemkot Tarakan. Penyidik menganggap ada kerugian negara sebesar Rp567.620.000 yang saat itu kliennya menjabat sebagai Wakil Wali Kota Tarakan, sekaligus pengurus di yayasan yang tanahnya dibebaskan oleh pemerintah untuk perluasan Kantor Kelurahan Karang Rejo.

“Kasus tersebut diangkat selama 10 tahun, mulai tahun 2014 sampai 2022 dan klien kami dijadikan tersangka. Beserta apresial saat itu Sudarto yang menghitung atau menaksir harga. Kemudian Haryono yang atas nama di surat tanah tersebut,” ungkapnya.

Kliennya beranggapan, pembebasan lahan dihitung oleh apresial yang memiliki lisensi dan dibawah Kementerian Keuangan yang berhak dan bisa menaksir harga. Selain itu, apresial bekerja berdasarkan buku pedoman dan aturan apresial, salah satu isi aturan perbedaan harga sampai dengan 30 persen masih dalam tahap kewajaran.

“Hal ini pun disampaikan oleh ahli apresial dalam keterangannya di persidangan. Sedangkan satu objek bangunan tidak akan sama nilai yang didapatkan, walaupun yang menaksir ada 10 orang apresial. Lalu apakah perbedaan harga ini mengakibatkan apresial salah dan harus dihukum, sementara penilaian berdasarkan batas kewajaran dan tidak melebihi 30 persen,” tandasnya.

Salahuddin juga menegaskan, kliennya dan Sudarto sebagai apresial tidak saling kenal sehingga tidak ada pengaturan ataupun intervensi. Selain itu, polisi pun sudah meminta apresiaal menghitung di objek yang sama di tahun berbeda. Apresial pemkot menghitung di tahun 2015, sedangkan apresial polisi menghitung tahun 2017.

Beda dua tahun yang harusnya semakin naik, tetapi ternyata menurut apresial polisi ada selisih harga Rp567.620.000 lebih. Inilah yang dianggap oleh polisi sebagai markup. Padahal, menurut kliennya, perbedaan harga tersebut masih di bawah 30 persen.

“Berdasarkan penilaian dari KJP Sugianto Prasojo yang merupakan second opinion, ditunjuk oleh Dewan Penilai MAPPI juga didapatkan hasil pergantian wajar atas 2 lahan tanah dan bangunan sebesar Rp2.332.380.000 pada 9 Desember 2017. Dengan selisih harga Rp567.620.000 masih merupakan selisih yang dianggap wajar oleh MAPPI, tapi malah inilah yang dianggap mark up,” pungkasnya.

Salahuddin juga mengungkapkan, harga yang dikeluarkan di surat kelurahan terkait harga lahan di kawasan tersebut paling rendah Rp6 juta per meter dan paling tinggi Rp8 juta per meter, sedangkan harga apresial dibawah Rp6 juta atau sekitar Rp5,8 juta.

“Kan jadi timbul pertanyaan, kenapa apresial harus salah dan di jatuhi hukuman. Sementara menurut aturan yang ada di dalam buku pedoman masih dalam batas wajar. Bahkan, menurut saksi ahli apresial dalam saksi sidang, harga tersebut wajar dan dalam kategori wajar,” katanya.

Dalam persidangan tingkat pertama di PN Tipikor Samarinda, kata dia, saksi ahli apresial berpendapat tidak boleh hanya satu dasar yang dijadikan rujukan, melainkan harus dua atau tiga hasil perhitungan apresial baru dianggap adil. Menurut kliennya lagi, jika apresial pemkot dianggap salah, puluhan bahkan ratusan produk hasil nilai pembebasan yang lain selama ini salah, atau semua harus di carikan pembanding.

“Dimana perlindungan seorang apresial. Jika setiap selesai menilai suatu objek apakah bisa klien kami melaporkannya ke polisi, dengan alasan jika dicarikan pembanding pasti nilainya berbeda. Kalau berbeda, apa berarti apresial salah,” tandasnya.

Jika tidak ada perlindungan hukumnya terhadap apresial, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi apresial yang akan mau menaksir harga, karena merasa tidak ada perlindungan hukumnya. Kliennya juga mempertanyakan 10 hakim dan jaksa dengan perkara yang sama, maka bisa membuat tuntutan dan keputusan hukuman yang tidak sama.

“Apakah jaksa dan hakim tersebut salah. Waktu di persidangan semua saksi pemerintah sudah menyatakan pembebasan lahan sesuai prosudur dan dalam proses perencanaan. Kalau memang ada permainan, pasti PNS pun ada yang jadi tersangka. Tapi, malah dalam putusan hampir tidak ada yang digunakan dan diambil pendapatnya,” tegas Salahuddin.

Salahuddin kembali menegaskan, sempat mencuat pertanyaan terkait pengelolaan uang hasil penjualan tanah juga turut dibantah kliennya. Menurutnya, pengelolaan uang oleh siapa merupakan urusan pemilik uang dan pemilik tanah. Berbeda halnya jika proses pembebasan lahan tersebut bermasalah, artinya sepanjang tidak masalah maka tidak menjadi masalah.

“Mengenai tanah tersebut diatasnamakan kepada siapapun tidak menjadi masalah, selama tidak ada masalah hukum. Dan ini disampaikan pendapat saksi ahli hukum pertanahan di persidangan,” tandasnya.

Salahuddin juga mengungkapkan, saat kliennya dinyatakan bebas pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Tipikor, sempat melakukan audensi ke beberapa lembaga negara di Jakarta untuk menyampaikan surat terkait adanya upaya kriminalisasi terhadap dirinya. Diantaranya ke Kompolnas RI di Jakarta, Kabid Propam RI, Komisi Pengawas Hakim, Kejaksaan Agung, Ombudsman, Kompolhutkam, BPK RI, BPKP RI dan Presiden.

“Sekarang apresial pak Sudarto dinyatakan bebas dan dinyatakan tidak bersalah, yang notabene penafsiran timbulnya perbedaan harga sebagai kunci hingga dianggap terjadi mark up. Artinya bagaimana dengan klien kami, Khaeruddin Arief Hidayat dan Haryono,” pungkasnya. (saf)

 

Pos terkait