(Waliyunu Heriman*)
MELIWA yang dipertunjukan Suku Kenyah pada Festival Budaya Irau ke-11 Malinau, baru-baru ini “dipromosikan” menjadi salah satu warisan budaya imateril Suku Kenyah. Di samping warisan-warisan budaya suku-suku (lokal) lainnya yang ada di Malinau. Irau bukan hanya berhasil menjadi panggung pertunjukan tetapi juga berhasil menjadi panggung pelestarian.
Meliwa adalah nama (dalam bahasa Kenyah) yang merujuk pada sebuah ritual, upacara adat sakral. Maknanya menyucikan dan mendamaikan manusia dari hal yang tidak baik. Upacara adat ini dipraktekan untuk suatu perjanjian damai (petutung) antar sub suku.
Mengapa harus Meliwa? Sinopsis pertunjukan ritual ini menyebutkan: “Orang Dayak pada zaman dulu tidak mengenal damai yang ada saling bermusuhan, perperangan, dan ngayau. Demikian pula secara khusus di kalangan Dayak Kenyah.”
Sejarah memang berkata demikian. Hingga dekade kedua abad ke-20 permusuhan, konflik, dan pe-ngayauan kerap mewarnai kehi dupan penduduk Dayak secara umum di Pulau Borneo. Berbagai faktor menjadi pemicu permusuhan dan konflik mereka.
Dalam konteks Kenyah Kalimantan Utara (dan Kaliamantan Timur) kesadaran untuk mengakhiri permusuhan dan konflik—kesadaran untuk menciptakan perdamaian universal di tanah air mereka, muncul sejak pertengahan abad ke-19. Dari obrolan pribadi dengan Ibau Ala (Ketua LA Apau Kayan) dan Liman Lawai (berikut pengetahuan saya atas tulisannya: A history of the Kenyah Leppo’ Tau in Kayan Hulu Subdistrict Apau Kayan, 2003) saya mendapat gambaran bahwa kesadaran untuk mewujudkan perdamaian yang universal di tanah air mereka, Apau Kayan, telah muncul sejak 1850. Ini bersamaan dengan terbentuknya “federasi” suku-suku di sana; Kenyah-Kayan. Terbentuknya sebuah institusi besar yang menaungi seluruh suku di Apau Kayan dengan seorang pemimpin, Kepala Suku Besar, bertanggung jawab atas institusi tersebut—Kepala Suku Besar Apau Kayan.
Mereka menyebut perjanjian damai itu dengan “Petutung Lalut Lepubung”—dilakukan di Lalut Lepubung, salah satu tempat pemukiman kelompok Kenyah. Entah sekrang tempat tersebut masih ada atau telah menjelma menjadi tempat dengan nama lain? Perjanjian ini ditandai dengan ritual, upacara adat Meliwa.
Nah, perjanjian damai serupa di Lalut Lepabung dilakukan oleh seluruh Suku Dayak di daratan Borneo. Pada tahun 1894 dilakukan perjanjian damai seluruh Dayak Kalimantan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Diikuti oleh 1.000 pemimpin setiap suku Dayak di Pulau Borneo.
Kemudian pada tahun 1899 di Marudi—dikenal dengan Perjanjian Marudi (Claudetown). Pada perjanjian ini Kepala Suku Besar Apau Kayan Ingan Surang dan sejumlah kepala suku ikut hadir atas undangan Raja Brooke (Charles Vyner Brook)—penguasa Sarawak.
Namun demikian, Meliwa atau upacara sejenis yang menyertai setiap perjanjian damai antar suku atau sub suku Dayak di atas tak serta merta dapat menciptakan perdamaian. Permusuhan dan konflik kerap muncul dalam skala wilayah yang lebih luas. Bukan berarti—dalam konteks Kenyah misalnya—petutung tidak mengikat dan Meliwa tidak mimiliki nilai filosofis bagi penganutnya. Pada kasus-kasus yang terjadi sebagaimana literatur sejarah mencatat, permusuhan dan konflik muncul dengan pihak lain yang tidak terikat oleh perjanjian damai tersebut. Petutung Lalut Lepubung menginkat bagi suku-suku di Apau Kayan tapi tidak mengikat bagi kelompok lain di luar Apau Kayan. Maka, sekali lagi sebagaimana kemudian sejarah mencatat, hingga dekade kedua abad ke-19, permusuhan dan konflik masih kerap berlangsung. Misalnya antara kelompok dari suku di Apau Kayan (dan suku di luar Apau Kayan) dengan suku atau kelompok dari suku di Sarawak (Malaysia)—yang cukup berlarut.
Meliwa dalam istilah Suku Kenyah, atau upacara adat sejenis dengan istilah berbeda pada suku-suku lainnya menjadi ritual inti dari sebuah prosesi perjanjian damai. Ia diyakni mampu mengikat kesadaran seluruh anggota kelompok suku-suku Dayak. Ia diyakini dan memang terbukti mampu menciptakan perdamaian secara menyeluruh di tanah air Dayak. Ini yang kemudian mendorong pemerintah Inggris dan Belanda memediasi sebuah perjanjian damai Dayak skala internasional yang dilaksanakan di Kapit pada November 1924 yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Damai Kapit.
Begitulah, sambil menyaksikan ratusan warga Kenyah Malinau menggelar Meliwa, imajinasi saya terbang ke sana ke mari. Membayangkan rangkaian peristiwa sejarah yang melatarbelakangi upacara sakral tersebut. Meski dilakukan secara berkelompok namun pada hakekatnya Meliwa merupakan penyucian diri setiap individu; ikrar berdamai dengan sesama, dengan alam, dan dengan Pemilik Semesta.
Lebih kurang, 44 tahun kemudian, Tajang Laing seorang pejabat Serawak datang ke Apau Kayan, persisnya ke Long Nawang. Ia diutus oleh Temenggong Jugah—tokoh Kenyah terkemuka di sana untuk melakukan misi perdamaian. Ini bermula dari ulah negara Indonesia dan Malaysia yang menciptakan peristiwa konfrontasi (1963-1966). Kita tahu gejolak politik para tokoh negara di Jakarta dan Kuala Lumpur berujung pada konflik. Penduduk perbatasan (kedua negara) yang tak tahu menahu dipaksa terlibat. Kali itu mereka harus berhadap-hadapan sebagai “musuh”. Padahal, perlu dicatat juga bahwa pada tahun 1945 mereka bersatu, sebagai gerilyawan, melawan penjajah Jepang agar enyah dari tanah air.
Konfrontasi berakhir pada 1966. Kedua negara berdamai. Namun perjanjian damai negara saja tidak cukup. Tajang Laing berkata; “Kita semua telah melanggar perjanjian perdamaian nenek moyang,”. Oleh sebab itu perlu dilakukan perdamaian serupa. Kedua belah pihak sepakat. Maka digelarlah perjanjian damai dengan ritual Meliwa atau sejenisnya, di Long Jawai dan Long Nawang. Long Jawai menjadi salah satu tempat pertempuran antara TNI bersama penduduk Apau Kayan dengan tentara Gurka bersama penduduk di sana. Temenggong Jugah, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Federal Urusan Sarawak, mendapatkan 10.000 Dolar Malaysia dari Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahman, untuk mendanai upacara tersebut.





