Menelusuri Jejak Panembahan Raja Tuo, Haul Kedua yang Satukan Zuriat Tidung di Malinau

Haul Kedua Panembahan Raja Tuo digelar dengan pembacaan ayat suci, doa, dan tausiah sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan pelestarian tradisi Tidung.
Suasana rangkaian Haul Kedua Panembahan Raja Tuo yang digelar dengan pembacaan ayat suci, doa, dan tausiah sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan pelestarian tradisi Tidung. (Foto: Ist).

TERASKALTARA.ID, MALINAU – Haul kedua Panembahan Raja Tuo kembali mempertemukan ratusan zuriat Tidung dari berbagai wilayah pada acara yang digelar di Masjid Agung Darul Jalal, Desa Malinau Hulu, pada Sabtu (22/11/2025).

Momentum dua tahunan ini bukan hanya wadah doa dan penghormatan, tetapi juga ruang mengenali kembali akar sejarah kerajaan Tidung serta peran tokoh-tokoh terdahulu dalam membentuk identitas masyarakat Malinau.

Panitia haul menghadirkan rangkaian pembacaan ayat suci Al-Qur’an, tahlil, tausiah, hingga ziarah ke sejumlah makam leluhur. Wakil Bupati Malinau, Jakaria didampingi Sekda Malinau, Dr. Ernes Silvanus turut hadir bersama sejumlah pejabat daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemuka agama.

“Haul seperti ini bukan sekadar tradisi, tetapi pengingat jati diri. Zuriat Tidung di Malinau memiliki sejarah panjang yang perlu terus dirawat,” ujar Jakaria.

Dalam sesi Selayang Pandang, Ketua Panitia Topan Amrullah menguraikan kembali perjalanan panjang Muhammad Ali Hanapia yang kelak bergelar Panembahan Raja Tuo sosok sentral dalam sejarah Tidung Panembahan.

Muhammad Ali Hanapia merupakan putra Abdullah, bangsawan Berau bergelar Pangeran Raja Muda, dengan Ibunda bernama Ikes.

Ia kemudian menikahi Aji Ratu, putri kedua Panembahan Alimuddin Hasan Pemesakan, Raja Tidung Panembahan ke-XI. Karena Panembahan Alimuddin Hasan tidak memiliki putra laki-laki, para bangsawan dan menteri sepakat menyerahkan tahta kepada Muhammad Ali Hanapia, yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan Raja Tuo.

Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan dari Setiyud ke Sawang Pangku (Kuala Bengalun), sebelum akhirnya dipindahkan lagi pada tahun 1189 Hijriyah (1776 M) ke Alung Malinau, yang kemudian dikenal sebagai Kuala Malinau.

Dua tahun setelah perpindahan itu, pada 1192 Hijriyah (1778 M), saudara dari nenek sebelah ibu Panembahan Raja Tuo yang bernama Putri Miring wafat dan dimakamkan di sebuah bukit yang kini berada dalam wilayah administrasi Desa Wisata Pulau Sapi. Putri Miring adalah keturunan Pangeran Basar bin Pangeran Prabu Sakti Pangki dari Kerajaan Tidung Kepatal.

Topan menjelaskan bahwa Panembahan Raja Tuo mempersatukan berbagai suku melalui perjanjian adat Sebila, yakni sumpah persaudaraan dengan tradisi isap darah.

Perjanjian itu menjamin keselamatan seluruh suku dalam wilayah hukum kerajaan, termasuk Merap, Abai dan kelompok lain yang diberikan izin menetap di sejumlah wilayah seperti Langap, Long Gita, dan Sembuak.

Hubungan kekeluargaan antara kerajaan dan kepala-kepala suku diperkuat melalui pertemuan persaudaraan di Semamu, yang kemudian melahirkan ikatan perkawinan antara keluarga Panembahan Raja Tuo dan keluarga Abay dari Temalang.

Selain itu, Panembahan Raja Tuo memiliki tujuh anak diantaranya :

1. Aji Kuning (Ubang)

2. Aji Muhammad Sapu

3. Aji Kaharudin (Keritan)

4. Aji Rindu

5. Aji Kesuma

6. Aji Taruna (Lamud)

7. Aji Bini (Ikes).

Kepemimpinan kerajaan kemudian diteruskan oleh putra keduanya, Aji Muhammad Sapu, bergelar Panembahan Raja Pandita, yang diangkat pada tahun 1269 Hijriyah (1853 M). Pada masa ini, pusat kerajaan dipindahkan ke Alung Kabiran.

Panembahan Raja Tuo wafat pada 12 Rajab 1273 Hijriyah (9 Maret 1857 M) dan dimakamkan di bukit yang kini berada di Desa Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang.

Pada 1896, Panembahan Raja Pandita diasingkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga ke Pulau Tidung karena menolak tunduk kepada kekuasaan kolonial.

Setelah itu, kekuasaan diteruskan oleh putra Aji Kuning, yaitu Aji Syahabudin, bergelar Panembahan Aji Kuning, yang memindahkan pusat kerajaan ke Pagun Sebamben yang kini dikenal dengan Malinau Kota.

Rangkaian Haul: Menghidupkan Tradisi dan Mengikat Silaturahmi

Haul juga dihadiri pejabat dan anggota legislatif daerah, termasuk Wakil Bupati Malinau, Sekda Malinau, Anggota DPRD Provinsi Kaltara, Asisten Pemerintahan, Komandan Yonif 614/RJP, para kepala OPD, serta tokoh agama dan masyarakat. Ceramah agama disampaikan oleh Al-Ustadz Haikal Husein Kartim Al Amrie dari Ponpes Al Khairat, Palu.

Acara dilanjutkan dengan ziarah ke makam-makam leluhur yang tersebar di Desa Lidung Kemenci dan Mentarang Baru, Kecamatan Mentarang serta Desa Respen Tubu, dan Sembuak di Kecamatan Malinau Utara.

Topan Amrullah menegaskan bahwa haul digelar setiap tahun ganjil, dengan pelaksanaan pertama pada 2023.

“Insyaallah tahun 2027 haul ketiga akan kembali dilaksanakan,” ujarnya.

Melalui haul ini, keluarga besar berharap nilai silaturahmi, penghormatan kepada leluhur, serta identitas budaya Tidung tetap diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Bacaan Lainnya

Sekaligus menjadi pengingat bahwa sejarah panjang Bumi Intimung selalu ditopang oleh persatuan, adat, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan Panembahan Raja Tuo.(Tk12).

Pos terkait