“Menjaga Hening di Ujung Kampung”

Jannah, Perempuan asal Kalimantan, aktif dalam isu-isu lingkungan, perempuan. Ia terlibat dalam pengorganisiran komunitas, mendalami pendidikan kritis berbasis gender dan keadilan ekologi. Selain aktif menulis di media lokal, ia juga terlibat dalam berbagai riset partisipatif tentang dampak pembangunan infrastruktur dan ekstraktivisme terhadap perempuan dan wilayah adat. Jannah rutin mengikuti serta memfasilitasi pelatihan, sekolah feminis, dan forum masyarakat sipil baik di tingkat lokal maupun regional.

 

Di ujung Kalimantan, tempat hutan masih bicara lewat desir angin dan aliran sungai masih jernih tanpa ragu, berdirilah sebuah kampung kecil bernama Sungai Lanta. Kampung ini bukan pusat kota, bukan pula desa wisata. Tapi ia hidup, dalam sunyi yang bekerja, dalam tenang yang menjaga.

Di sana, hiduplah seorang perempuan bernama Lina. Usianya tiga puluh lima, rambutnya selalu diikat rapi, dan langkahnya ringan tapi pasti. Orang-orang memanggilnya Penjaga Hening. Bukan karena ia pendiam, tapi karena ia tahu kapan harus mendengar dan kapan harus bertindak.

Lina tumbuh di tengah kebun, sungai, dan cerita-cerita ibu dan neneknya yang dituturkan saat menumbuk padi. Ia belajar tentang akar-akaran yang menyembuhkan, waktu tanam yang baik, dan pantangan yang mtak tertulis: jangan ambil lebih dari yang kau butuhkan, jangan ganggu alam saat ia sedang tidur.

Suatu sore, Lina duduk bersama ibunya di beranda. Hujan baru saja reda, tanah menguarkan aroma basah yang menenangkan.

“Lina… kau lihat pohon di tepi sungai itu?” tanya ibunya, menunjuk pohon ulin yang berdiri tenang.
“Itu yang kita tanam dulu, kan, Bu?” jawab Lina.
“Iya. Kini akarnya yang jaga kita dari longsor. Alam selalu ingat siapa yang menanam dengan niat baik.”

Lina diam sejenak. Lalu berkata lirih, “Makanya aku tolak saat ada yang akan merusak alam kita, seperti perusahaan industri waktu lalu. Mereka kira kita butuh uang. Padahal kita sudah punya segalanya, tinggal kita jaga,”.

Ibunya tersenyum. “Alam ini tidak bisa ditukar. Pengetahuan menjaga, harus dijalani, bukan dibeli.”

Keesokan harinya, Lina mengajak beberapa perempuan muda ke hutan. Mereka tak sekadar memetik daun dan buah. Lina menjelaskan kegunaannya, cara menyimpannya, bahkan kapan waktu terbaik mengambilnya agar pohon tak terluka.

“Menjaga alam itu seperti merawat tubuh sendiri. Kalau kau paksa terus, dia bisa sakit. Tapi kalau kau dengar ritmenya, dia akan beri lebih dari yang kau duga,” ucapnya sambil menyentuh batang pohon dengan lembut.

Kegiatan itu jadi rutin. Perempuan muda mulai tertarik. Mereka tak lagi malu bekerja di kebun atau menganyam rotan. Lina tak pernah mendorong mereka keras-keras. Ia hanya membuka jalan dan membiarkan mereka menemukan cintanya sendiri pada tanah dan hutan.

Sampai suatu hari, seorang mahasiswa dari kota datang. Namanya Rara. Ia menulis skripsi tentang pengetahuan lokal dan pelestarian alam. Ia tinggal selama sebulan, ikut Lina ke kebun, ke sungai, ke pasar, bahkan ke rapat kampung. Di sana, ia melihat langsung bagaimana Lina menjadi poros sunyi yang menggerakkan banyak hal.

Skrip Rara berubah menjadi artikel. Artikel menjadi kisah inspiratif. Nama Lina menyebar ke luar kampung, ke kota, bahkan sampai ke luar pulau. Tapi Lina tetap sama, tak ingin diwawancara, tak ingin dipuja.

“Saya cuma jaga yang sudah diajarkan Ibu dan Nenek. Kalau saya tinggal diam, siapa yang mau teruskan?” katanya saat seseorang bertanya tentang pencapaiannya.

Kini, Sungai Lanta mulai sering didatangi perempuan-perempuan muda dari berbagai tempat. Mereka datang bukan sebagai turis, tapi sebagai murid yang ingin belajar. Mereka belajar dari Lina, dari ibu-ibu lain, dari hutan, dari air, dari kesunyian yang menyimpan pelajaran.

Lina tahu, ia bukan siapa-siapa dalam ukuran dunia. Tapi jika satu hutan bisa tetap berdiri, satu sungai tetap mengalir bersih, dan satu kampung tetap hidup dari tanahnya sendiri, maka itu cukup.

Di malam hari, ia duduk kembali di beranda. Bulan menggantung terang. Suara alam kembali mengisi sela-sela malam. Ia tersenyum. Dan hening itu pun tetap terjaga. (**)

Cerita Pendek:  Janna

Jannah, Perempuan asal Kalimantan, aktif dalam isu-isu lingkungan, perempuan. Ia terlibat dalam pengorganisiran komunitas, mendalami pendidikan kritis berbasis gender dan keadilan ekologi. Selain aktif menulis di media lokal, ia juga terlibat dalam berbagai riset partisipatif tentang dampak pembangunan infrastruktur dan ekstraktivisme terhadap perempuan dan wilayah adat. Jannah rutin mengikuti serta memfasilitasi pelatihan, sekolah feminis, dan forum masyarakat sipil baik di tingkat lokal maupun regional.

——————————-

Pos terkait