Tim punyusun: Datuk Divan Iqbal Viranda, S.Pd Aji Taruna Zakaria, A.Md , Sadam Hasanudin
PENDAHULUAN
Panembahan Raja Pandita merupakan seorang raja dari Kerajaan Tidung yang ada di Malinau dulu kala, yang bertempat di wilayah Kabiran. Kerajaan Tidung di Malinau adalah suatu kerajaan lokal yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Tidung yang berwilayah di daerah Tana Tidung sekarang. Namun, kerajaan ini terus bergeser wilayah kedudukan seiring bertambahnya wilayah kekuasaan dan pada akhirnya berkedudukan di Malinau.
Kerajaan Tidung merupakan suatu kerajaan lokal yang berkedudukan di wilayah Kesultanan Bulungan, namun setiap pemimpin mempunyai kebijakannya masing-masing, baik itu dari pihak Kesultanan Bulungan maupun pihak Kerajaan Tidung sendiri. Dalam catatan administrasi Belanda, Kerajaan Tidung disebutkan sebagai Tidoengsche Landsschappen yang menunjukkan pengakuan terhadap wilayah masyarakat Tidung berada. Di Kesultanan Bulungan sendiri, ada beberapa catatan administrasi yang menuliskan nama kesultanan disandingkan dengan Tidung, seperti Boeloengan en de onderhooring heid Tidoeng dan di masa pemerintahan Sultan Datu Mansyur dan Sultan Jalaluddin disebutksan Sultan Boeloengan en Tidoeng. Ini menunjukkan bagaimana kedekatan antara pihak Kesultanan Bulungan dan Kerajaan Tidung itu sendiri sangat dekat, entah itu sebagai rekan dagang, diplomasi, daerah vassal, ataupun pasukan, sudah menunjukkan kedekatan antar kedua pemerintahan tersebut.
Sebelum berkedudukan di Malinau, Kerajaan Tidung ini pernah dipimpin oleh 11 raja, yang masing-masing dari mereka mempunyai kedudukan, diantaranya:
- Raja Kundum/Aman Sembiring (Bekilan, hilir sungai Menjelutung sekarang)
- Raja Bagei/Limba (Susulan)
- Menteri Guppan/Sambiri (Pulau Papa)
- Pangeran Temenggung (Pulau Bunyu)
- Raja Lambat (Senunuk dan Liyu Maye)
- Panembahan Sebawang/Mas Mangku (Selidung dan Sebawang)
- Panembahan Tua Sebawang/Pangeran Alamsyah (Sebawang)
- Panembahan Mangku Bumi (Sebawang)
- Panembahan Kaharuddin/Aji Kaharuddin (Sepadan, Tidung Pale sekarang)
- Tuga gelar Raja Tua (Sedulun)
- Aji Hasan gelar Panembahan Alimuddin Hasan Pameskan (Sepadandan Temunung Bajil)
Setelah 11 raja yang telah disebutkan di atas, barulah Kerajaan Tidung bergeser wilayah kekuasaannya ke wilayah Malinau yang bertempat di Kuala Malinau. Pada saat perpindahan wilayah kekuasaan tersebut, Kerajaan Tidung dipimpian oleh Muhammad Ali Hanapiah bergelar Panembahan Raja Tua (Raja ke-12) diperkirakan berkuasa sekitar 1768-1853. Dan pada tahun 1776, Raja Tua memindahkan kekuasaannya yang sebelumnya di Setiyud, Sawong Pangku (Kuala Bengalun sekarang) ke Kuala Malinau. Pada tahun 1857, Raja Tua wafat dan sekarang makamnya dapat kita jumpai di daerah Mentarang Baru, Kabupaten Malinau.
Pasca wafatnya Muhammad Ali Hanapiah gelar Raja Tua sebagai raja yang ke-12, maka kekuasaan digantikan oleh anak keduanya yang bernama Aji Muhammad Sapu yang bergelar Panembahan Raja Pandita. Ia berkuasa sekitar 1853-1888 (raja ke-13), yang kemudian pada 1888 ia mengangkat cucunya Sayid Abdurrachman sebagai penggantinya. Sayid Abdurrachman bergelar Syarif Panembahan berkuasa pada 1888-1891, kemudian pada 1891 Raja Pandita kembali berkuasa hingga 1896 dan pada tahun 1893 ia memindahkan pusat kerajaan ke Kuala Kabiran.
Di masa pemerintahan Raja Pandita inilah gejolak politik di lingkungan kekuasaan memanas. Gejolak ini diakibatkan karena pada saat itu Raja Pandita menolak untuk tunduk terhadap penjajah kolonial Belanda, sehingga ia dianggap sebagai pemberontak dan pembuat ricuh di Borneo bagian utara. Karena penolakannya inilah, Raja Pandita diasingkan keluar daerah yaitu Jepara pada 1896 sekaligus statusnya sebagai raja dicabut. Setelah pengasingan dan pencabutan status kekuasaan Raja Pandita, kekuasaan dialihkan ke keponakannya. Yaitu Aji Syahabuddin gelar Panembahan Aji Kuning yang berkuasa setkitar 1896-1937 (raja ke-15). Kekuasaan Kerajaan Tidung berakhir dan diganti dengan Kepala Adat Besar Tidung pasca kepemimpinan Panembahan Aji Kuning.
Dalam tulisan ini, tim penulis akan membahas tentang kisah Panembahan Raja Pandita yang menolak untuk patuh dan tunduk terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Yang dimana tulisan ini berdasarkan catatan-catatan yang tim penulis telah kumpulkan selama beberapa tahun terakhir, sebagai upaya untuk menghasilkan sejarah lokal di Malinau.
PEMBAHASAN
- Biografi Aji Muhammad Sapu gelar Panembahan Raja Pandita
Aji Muhammad Sapu atau lebih dikenal dengan nama Panembahan Raja Pandita lahir pada 20 Juli 1817 di Kuala Malinau, ia merupakan anak ke-2 dari tujuh bersaudara dari pasangan Muhammad Ali Hanapiah gelar Panembahan Raja Tua (raja ke-12) dan Aji Ratu. Panembahan Raja Pandita merupakan raja ke-13 dari Kerajaan Tidung setelah menggantikan kedudukan ayahnya, atau dapat dikatakan sebagai raja ke-2 di wilayah Kerajaan Tidung di Malinau.
Panembahan Raja Pandita diangkat menjadi raja diusianya yang ke-36 tahun, yaitu pada 1853. Ia mempunyai tiga orang anak dari empat orang istri, dianataranya Dayang Ranik (Aji Rindu), Aji Taruna, dan Hamidun, yang kemudian tahta kekuasaannya akan digantikan oleh cucunya yang bernama Sayid Abdurrachman yang bergelar Syarif Panembahan. Bersama dengan cucunya inilah kelak Raja Pandita diasingkan.
Selama masa pemerintahannya, Panembahan Raja Pandita kerap berselisih dengan pihak kolonial Belanda, termasuk juga dengan pihak Kesultanan Bulungan yang saat itu dipimpin oleh Sultan Adzimuddin, dimana terjadi selisih paham antara pemerintahan Raja Pandita dengan pihak Kesultanan Bulungan.
Selama kekuasaannya, Panembahan Raja Pandita selalu menyatakan sikap menolak tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda. Hingga pada 1896, ia diasingkan ke Pati, Jepara yang merupakan salah satu cara untuk menertibkan wilayah Malinau agar dapat tunduk kepada pemerintaham kolonial Belanda, sekaligus menandakan berakhirnya masa kekuasaan Panembahan Raja Pandita sebagai seorang penguasa.
Tepat pada tahun 1902, Panembahan Raja Pandita dipindahkan dari Jepara ke Batavia (Jakarta sekarang) lebih tepatnya di suatu pulau yang bernama Pulau Air yang sekarang dikenal dengan nama Pulau Seribu atau Pulau Tidung. Hingga akhir hayatnya, ia terasingkan di pulau tersebut dan sekarang makamnya dapat dijumpai di sana.
- Penolakan Untuk Tunduk hingga Pengasingan
Kerajaan Tidung di Malinau memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Kesultanan Bulungan, terlebih kedua pemerintahan ini memiliki hubungan suku yang dekat dan jejak sejarah yang panjang antar keduanya. Berdirinya Kerajaan Tidung di Malinau memberikan dampak yang begitu besar terhadap daerah pedalaman ini, yang sebelumnya merupakan suatu daerah yang tidak begitu diperhatikan oleh pihak Kesultanan Bulungan maupun pihak Pemerintah Hindia-Belanda.
Salah satu dampaknya ada diaspek perdagangan, yang dimana seperti yang kita ketahui bersama Malinau mempunyai hasil alam yang sangat melimpah. Hasil alam ini mendorong kegiatan dagang, mengundang para pedagang dari luar daerah seperti pedagang dari Banjar dan Arab. Dari berdagang itulah terjadi interaksi, baik secara politik ataupun perkawanin, tidak heran jika di masa sekarang banyak suku Banjar dan keturunan Arab yang tinggal dan hidup di Malinau dikarenakan sudah sangat lama mereka datang serta menetap di daerah ini.
Di masa pemerintahan Panembahan Raja Pandita terjalin kerja sama dengan pihak Kesultanan Bulungan di bawah pimpinan Sultan Kaharudin (1875-1889), hubungan ini terjalin dikarenakan faktor pernikahan. Yang dimana pada saat itu terjadi kesepakatan bahwa pihak Panembahan Raja Pandita memberikan cukai sebesar 10% terhadap hasil hutan yang diberikan kepada Sultan Kaharudin, sebagai biaya hidupnya selama tinggal di Kuala Malinau saat menikah dengan adik dari ibu Panembahan Raja Pandita.
Hubungan antara Panembahan Raja Pandita dengan Kesultanan Bulungan mulai retak ketika mangkatnya Sultan Kaharudin pada 1889 dan digantikan oleh Sultan Adzimuddin (1889-1899) sebagai sultan yang baru. Perselisihan ini terjadi dikarena Sultan Adzimuddin tetap meminta pajak 10% hasil hutan tersebut untuk tetap diberikan oleh Raja Pandita ke sultan Bulungan, yang dimana sebelumnya pajak tersebut merupakan hanya kesepaktan antara Raja Pandita dengan Sultan Kaharudin. Namun, Sultan Adzimuddin tetap bersikeras agar pajak itu tetap diberikan, ia menggunakan landasan kontrak perjanjian Korteverklaring de tweede tahun 1878, suatu kontrak perjanjian yang ditandatangai antara Kesultanan Bulungan Sultan Kaharudin dengan Resident J.J Meijer dari Zuider en Oosterafdeeling van Borneo, yang kemudian disetujui oleh Gebernur Jenderal Johan Willhelm mengenai pajak hasil alam wilayah kekuasaan Negeri Malinau, tanpa adanya sepengetahuan dari Panembahan Raja Pandita.
Atas alasan tersebut dan tanpa adanya sepengetahuan Raja Pandita atas kontrak yang dimaksud diatas, maka Raja Pandita tetap menolak untuk memberikan pajak tersebut kepada Kesultanan Bulungan dibawah pimpinan Sultan Adzimuddin, karena ia menganggap bahwa perjanjian pajak tersebut hanya antara dirinya dengan Sultan Kaharudin saja. Sehingga Raja Pandita dianggap sebagai pemberontak oleh pihak Kesultanan Bulungan dan pemerintah Hindia-Belanda, karena penolakan tersebut.
Mendengar penolakan ini, rombongan kapal perang Asistent Resident yang terdiri atas anak-anak Kesultanan Bulungan, Countroler, dan militer kolonial Hindia-Belanda berlayar menuju Malinau yang ingin melakukan perundingan dengan Raja Pandita. Assistant Resident mengatakan kepada Raja Pandita untuk berunding dengan sultan di Bulungan, sehingga di kemudian harinya Raja Pandita bersama dengan keponakannya Aji Kuning dan cucunya Sayid Abdurrcahman berangkat menuju Kesultana Bulungan.
Adapun permintaan Assisten Resident dan Kesultanan Bulungan kepada kekuasaan Raja Pandita sebagai berikut:
- Pajak (cukai) hasil dari pada getah, rotan, dan sarang burung serta segala sesuatu yang dikeluarkan dari Malinau diserahkan kepada Kesultanan Bulungan
- Panembahan Raja Pandita tidak boleh melarang orang-orang untuk mudik ke hulu sungai, orang Sesayap atau orang lain asal membayar cukai 10%
- Masalah bunuh membunuh adalah urusan Raja Pandita
- Cucu Panembahan Raja Pandita tidak boleh jadi Panembahan, karean dia orang Arab
- Panembahan Raja Pandita harus bersumpah Qur’an dihadapan Sultan, Assisten Resident, dan controleur.
Mendengar persyaratan itu, Raja Pandita menolak persyaratan itu. Namun, Assisten Resident sudah membuat pernyataan tegas bahwa jika menolak akan diasingkan ke Banjarmasin dan Betawi. Sebelumnya, Raja Pandita mengangkat cucunya Sayid Abdurrachman menjadi Panembahan menggantikan dirinya tanpa adanya pemberitahuan terhadap Sultan Bulungan. Pasca tidak disetujui permintaan tersebut oleh Raja Pandita, maka cucunya yaitu Sayid Abdurrachman ditahan di Bulungan dan Raja Pandita dipulangkan kembali ke Malinau.
Raja Pandita dianggap sebagai keluhan serius, baik bagi Kesultanan Bulungan maupun pemerintah Hindia-Belanda. Raja Pandita secara terang-terangan menunjukkan pemberontakannya terhadap Sultan Adzimuddin, karena ia memperlakukan perwakilan kesultanan yang datang ke Malinau pada 1895, yang saat itu ingin meminta hasil hutan, namun ditolak mentah-mentah oleh Raja Pandita. Dan secara tegas, Raja Pandita menyatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan Kesultanan Bulungan.
Selain itu juga, Raja Pandita dianggap sebagai dalang atas penyerangan yang terjadi di daerah Semendurut pada periode 1896. Dalam beberapa catatan administrasi Belanda, disebutkan bahwa penyerangan di Semendurut atas perintah Panembahan Raja Pandita, dan menganggap bahwa Raja Pandita sebagai sipembuat onar di wilayah Kesultanan Bulungan. Pada laporan administrasi tersebut, tidak disebutkan alasan penyerangan dan bukti bahwa Raja Pandita sebagai dalang dan pemberi perintah.
Peristiwa penyerangan di Semendurut dan tuduhan yang dilontarkan terhadap Raja Pandita mengakibatkan datangnya pihak Pemerintah Hindia-Belanda dan Kesultanan Bulungan ke Malinau, dengan menggunakan kapal uap. Kedatangan mereka guna untuk menangkap Raja Pandita dan keluarga untuk diadili. Pada 29 Juni 1896, Hr. Ms. Soembing memimpin perjalananan bersama dengan Resident menaiki kapal uap Glatik dan kapal uap Sophie melakukan perjalanan menuju sungai Sesayap, resident berangkat dengan pesenjataan lengkap. Dan pada 30 Juni 1896, kapal telah tiba atau berlabuh di Malinau, disaat yang sama juga pasukan langsung menuju Kabiran untuk langsung menangkap Raja Pandita bersama dengan pengikutnya.
Saat penangkapan Panembahan Raja Pandita tersebut, kedua cucunya Sayid Abdurrachman gelar Syarif Panembahan dan Sayid Ali juga ikut ditangkap. Mereka langsung dibawa menuju ke Kutai dan kemudian terus menuju Banjarmasin, di Banjarmasin inilah terjadi perundingan agar Raja Pandita mau mengakui tunduk terhadap Pemerintahan Hindia-Belanda, namun Raja Pandita tetap menolak tawaran tersebut. Oleh karena penolak itulah, dengan keputusan Hindia-Belanda tanggal 12 Desember 1896 No. 40, demi kepentingan ketentraman dan ketertiban umum di kawasan Bulungan, menerapkan No. 47 Peraturan Pemerintah Hindia-Belanda, maka Raja Pandita dengan kedua cucunya diturunkan di Pulau Jawa, menetapkan Pati sebagai tempat tinggal mereka, biaya hidup mereka ditanggung oleh sultan.
Beberapa tahun hidup dan menetap di Jepara, Raja Pandita kembali dipindahkan, ke Batavia, sedangkan kedua cucunya tetap ditempatkan di Jati, Jepara. Raja Pandita dipindah ke suatu wilayah di Batavia, yang bernama Pulau Air (sebutan warga setempat zaman dulu) atau yang sekarang dikenal dengan Pulau Seribu. Hingga akhir hayatnya, Raja Pandita menetap dan mempunyai istri serta keturunan di sana, oleh karena itu pulau tersebut dikenal dengan nama “Pulau Tidung” di masa sekarang.
PENUTUP
Ada ungkapan yang akrab bagi para sejarawan,“Sejarah ditulis oleh pemenang”. Ungkapan itu merujuk pada banyak kejadian dan peristiwa sejarah yang hanya mengacu pada satu perspektif, perspektif dari pemenang. Hal demikian dapat dilihat juga pada seorang Panembahan Raja Pandita, yang dimana namanya dalam tulisan dan catatan administrasi pemerintah kolonial Belanda disebutkan sebagai seorang yang kejam dan pemberontak.
Jika dilihat dari perspektif sebaliknya, maka dapat diambil suatu interpretasi bahwa Raja Pandita menolak untuk tunduk. Ia tidak ingin berada dibawah kaki para penjajah Belanda, ia tidak ingin jika rakyatnya ditindas, yang ia inginkan hanya sesuatu yang bernama Kedaulatan. Pengasingannya ke Pulau Jawa menjadi bukti betapa melawannya ia terhadap para penjajah, menunjukkan kegigihannya agar tanah yang ia kuasai tidak diduduki dan dikuasai oleh para penjajah Belanda.
Kisah Panambahan Raja Pandita merupakan bukti bahwa tanah Malinau memiliki harkat dan martabat sebagai suatu wilayah. Malinau dulunya memiliki seseorang yang dianggap ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda, lebelnya sebagai seorang yang memberontak sudah cukup untuk membuktikan bagaimana penolakannya terhadap penindasan penjajah kolonial. Melalui tulisan ini juga akan menjadi langkah awal dalam proses pengusulan Gelar Pahlawan Nasional dari provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Malinau khususnya, untuk menunjukkan identitas kita terhadap perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1883-1884. Biljage C. Kolonial Verslag van 1883, vol. 4.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1887-1888. Biljage C. Kolonnial Versleg van 1887.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1896-1897. Biljage C. Kolonial Verslag van 1887.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1897-1898. Biljage C. Kolonial Verslag van 1898.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1898-1899. Biljage C. Kolonial Verslag van 1899.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1899-1900. Biljage C. Kolonial Verslag van 1900.
Biljagen van het Verslag der Handelingen van de Tweede Kamer der Staten Generaal 1901-1902. Biljage C. Kolonial Verslag van 1902.
De Gebroeders van Cleef. 1897. Jaarboek van De Koninklijke Nederlandsche Zeemacht 1895-1896. Departement van Marine. Den Haag.
Dr. J. Eisenbergen. 1936. Kroniek der Zuider- En Oosterafdeeling van Borneo. Liem Hwat Sing. Bandjermasin
Idris, Usman. 2017. Belimpun Taka Tugas, Insuai Taka Tapu: Orang Tidung, Marginalisasi dan Perlawanan di Pulau Sebatik. Jurnal Etnografi Indonesia. Vol. 2. Universitas Cendrawasih. Papua.
Imanuddin, Gusti. 2012. Malinau Kota Dalam Sejarah. Kecamatan Malinau Kota. Kabupaten Malinau
Jeri Saputra, Muhammad Imam Stafi’I, Mukhlis Ansori Harahap, Muhammad Yusril. 2025. Falsafah Hidup Orang Tidung Perspektif Pemikiran Islam: Studi Tentang Adat kebiasaan Suku Tidung Nunukan. Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam. Vol.2.
Putri, Risa Herdahita. 2020. Asal-usul Suku Tidung. https://share.google/G5t9news2Mp4xfw
Sandick, R.A. Van dan Witt, P.J.De. 1896. Weekblad Gewijd Aan Koloniale Zaken. Vol. 1 No. 52.
Stuart, W.J. Cohen. 1937. De Zeemacht In Nederlandsch-Indie 1874-1888. Algemeene Landsdrukkerij. Den Haag.
Susanto, Nugroho Nur. 2013. Pengaruh Islam Terhadap Identitas Tidung Mneurut Bukti Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin.






