TERASKALTARA.ID, MALINAU – Panggung Budaya Padan Liu’ Burung pada Kamis (9/10/2025) pagi menjadi saksi kemegahan tradisi Suku Tidung.
Dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ke-26 Kabupaten Malinau dan Festival Budaya IRAU ke-11, Lembaga Adat Besar Tidung menampilkan dua prosesi adat khas, Beseruan dan Ngatode De Pulut, yang sarat makna dan nilai filosofis.
Sebelum prosesi dimulai, Bupati Malinau Wempi W. Mawa, S.E., M.H., bersama jajaran Forkopimda dan tamu undangan disambut dengan ritual adat Suku Tidung. Ritual tersebut melambangkan kesejukan, penghormatan, serta doa agar seluruh rangkaian kegiatan berlangsung lancar dan penuh berkah.
Suasana semakin semarak ketika para tamu dihibur dengan tarian khas Suku Tidung seperti tari Jepen, diiringi alunan musik ketipung yang menggugah semangat.
Usai pertunjukan pembuka, para tamu dan masyarakat duduk berselonjor bersama atau ‘Beselapit’, mengikuti jalannya prosesi sambil bernyanyi lagu berbahasa Tidung, menciptakan suasana hangat dan akrab.
Dalam pertunjukan ini, masyarakat disuguhi gambaran hidup tentang prosesi lamaran adat (Beseruan) hingga penyerahan mas kawin (Ngatode De Pulut). Melalui dialog adat dan simbol-simbol budaya, tersirat pesan tanggung jawab seorang calon mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita.
Menurut Syamsul, Sekretaris Umum Lembaga Adat Besar Tidung Kabupaten Malinau sekaligus koordinator atraksi adat Tidung pada Festival IRAU tahun ini, seluruh rangkaian penampilan telah dipersiapkan secara matang.
“Untuk kegiatan ini, kami sudah mempersiapkan latihan sekitar satu bulan yang lalu,” ujar Syamsul saat ditemui usai penampilan.
Ia menyebutkan, antusiasme masyarakat sangat tinggi. Tidak hanya dari Malinau, peserta juga datang dari berbagai daerah, bahkan dari negara tetangga.
“Dari Sabah, Malaysia sekitar 20 orang, dari Kabupaten Nunukan 150 orang, dari Kota Tarakan 20 orang, dari Tanjung Selor 10 orang, dan dari Kabupaten Tanah Tidung 175 orang,” rincinya.
Kehadiran peserta dari berbagai daerah tersebut, menurut Syamsul, menjadi bukti kuatnya ikatan budaya Tidung yang melampaui batas wilayah administrasi dan negara.
“Ini menjadi momentum penting untuk mempererat kembali hubungan adat dan kekerabatan masyarakat Tidung di berbagai penjuru,” jelasnya.
Prosesi Ngatode De Pulut sendiri secara harfiah berarti “mengantarkan pulut (mas kawin)”, yakni penyerahan barang seserahan dari pihak pria kepada pihak wanita sesuai kesepakatan adat dalam ritual Beseruan.
Tradisi ini diawali dengan salam dan pantun berbalas, dilanjutkan dengan pembacaan daftar barang seserahan, serta diakhiri dengan penetapan hari pernikahan.
“Tradisi ini adalah cerminan nilai tanggung jawab, kebersamaan, dan penghormatan terhadap adat. Ini merupakan kearifan lokal yang harus dijaga lintas generasi,” tegas Syamsul.
Dalam kesempatan yang sama, Syamsul juga menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Malinau atas dukungan dan ruang yang diberikan bagi masyarakat adat untuk menampilkan kekayaan budayanya.
“Kami berterima kasih kepada Bupati Malinau, Bapak Wempi W. Mawa, yang sangat memperhatikan budaya. Harapan kami, dukungan ini terus berlanjut dan semakin kuat di masa mendatang,” ungkapnya.
Melalui prosesi adat Beseruan dan Ngatode De Pulut, masyarakat Tidung tidak hanya mempertontonkan keindahan budaya, tetapi juga menyampaikan pesan moral tentang tanggung jawab, kehormatan, dan kebersamaan.
Penampilan yang dikemas penuh makna ini menegaskan bahwa di tengah kemajuan zaman, budaya tetap menjadi jati diri dan kekuatan pemersatu masyarakat Malinau.