TERASKALTARA.ID, MALINAU – Suara gong dan gendang bertalu-talu di Panggung Budaya Padan Liu’ Burung menandai dimulainya prosesi adat ‘Meliwa’, salah satu tradisi paling sakral dalam kebudayaan Dayak Kenyah.
Ritual ini menjadi simbol perdamaian sepuluh subetnik Kenyah yang dahulu kerap terlibat perseteruan panjang.
Dulu, ketika suku-suku Dayak Kenyah hidup terpencar di hulu-hulu sungai, perbedaan wilayah sering memicu peperangan. Ngayau atau perburuan kepala menjadi bagian dari sejarah kelam masa lalu.
Kini, jejak kekerasan itu justru diubah menjadi pelajaran berharga. Dalam Festival Budaya IRAU ke-11, masyarakat Kenyah Malinau menampilkan kembali prosesi ‘Meliwa’ upacara rekonsiliasi yang diwariskan dari para leluhur.
“Upacara Meliwa adalah bentuk duduk bersama antar 10 subetnik Kenyah untuk mengakhiri pengayauan,” ujar Padan Impung, Koordinator Upacara Adat Meliwa Dayak Kenyah, pada Sabtu (11/10/2025).
Dalam prosesi ini, seekor Babi dikorbankan sebagai simbol perdamaian, darahnya dipercikkan ke tubuh para tetua adat dari masing-masing subetnik sebagai tanda berakhirnya dendam masa lalu.
Melalui Meliwa, masyarakat Dayak Kenyah mengajarkan bahwa perdamaian bukan sekadar wacana, melainkan keputusan bersama untuk menghentikan kekerasan dan hidup rukun di bawah nilai-nilai leluhur.(Tk12).





