TERASKALTARA.ID, MALINAU – Dalam rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun ke-26 Kabupaten Malinau dan Festival Budaya Irau ke-11, masyarakat Suku Dayak Lundayeh menampilkan pergelaran seni dan budaya bertajuk “Ngikit Fadan Liu Burung Kuu Radcha Bawang Idi Nued Tana”, Rabu (8/10/2025), di Arena Lapangan Prosehat, depan Panggung Budaya Padan Liu Burung.
Prosesi adat yang berlangsung sejak pagi ini menggambarkan doa dan harapan masyarakat Lundayeh agar tanah dan kehidupan senantiasa diberkati.
Kegiatan dimulai sejak pukul 07.00 pagi dengan persiapan panitia dan pelaku acara, kemudian dilanjutkan doa pembukaan yang mengawali seluruh rangkaian ritual adat.
Acara utama menampilkan prosesi dan pertunjukan seni khas Lundayeh yang sarat makna tentang kebersamaan, kesucian tanah, serta hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Dalam prosesi tersebut, Fadan Liu Burung dan Gerit Nan Takung bersama para Sakai (rombongan adat) tiba di gerbang utama dan disambut oleh Ketua Lembaga Adat Dayak Lundayeh, Paulus Belapang, bersama para tetua adat.
Beragam prosesi adat kemudian digelar, diantaranya Ngukab Tebuku, Neteng Mengei Ngteu Feu Bulat, hingga Ngikit Fadan Liu Burung Ame Ku Radcha Bawang, yang menjadi inti dari upacara sakral tersebut.
Suasana semakin khidmat ketika ritual Natak Jani (Tengadan) dipimpin oleh Radcha Bawang Fadan Liu Burung, diikuti prosesi Sigai dan Nued Tana’.
Ritual ini melambangkan ikatan suci antara manusia dan alam, sekaligus wujud syukur atas anugerah kehidupan.
“Semua ini menggambarkan doa dan harapan masyarakat Lundayeh agar tanah, hutan, dan air tetap menjadi sumber kehidupan yang diberkati,” ujar Paulus Belapang.
Setelah prosesi adat, penampilan tari kolosal bertema “Menjaga Air, Menjaga Kehidupan” turut memukau penonton.
Ratusan penari memvisualisasikan nilai-nilai pelestarian alam, diakhiri dengan doa syukur dan penampilan khusus dari para peserta seni budaya.
Ketua Lembaga Adat Dayak Lundayeh, Paulus Belapang, menyampaikan apresiasi mendalam atas perhatian Pemerintah Kabupaten Malinau terhadap pelestarian budaya lokal.
“Kami berterima kasih kepada Pemkab Malinau yang terus memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk menjaga dan menampilkan warisan budaya leluhur. Ini bukan hanya kebanggaan Lundayeh, tapi juga kebanggaan seluruh masyarakat Bumi Intimung,” tuturnya.
Sementara itu, Bupati Malinau Wempi W. Mawa, S.E., M.H. menegaskan bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat.
“Kebudayaan adalah identitas daerah. Di tengah arus modernisasi, warisan seperti ini harus terus dijaga sebagai kekayaan bangsa dan kebanggaan daerah,” ujar Wempi.
Ia menambahkan, pergelaran budaya bukan sekadar tontonan, tetapi sarana memperkuat jati diri masyarakat sekaligus mempertegas bahwa Malinau adalah rumah bagi keberagaman yang hidup dan harmonis.
“Festival seperti ini mengajarkan kita arti kebersamaan, toleransi, dan cinta tanah leluhur. Malinau adalah rumah besar bagi semua budaya yang tumbuh di dalamnya,” tegas Wempi.
Pergelaran sakral “Ngikit Fadan Liu Burung Kuu Radcha Bawang Idi Nued Tana” menjadi bukti bahwa masyarakat Dayak Lundayeh tetap teguh menjaga nilai-nilai adat dalam kehidupan modern.
Melalui Festival Budaya Irau ke-11, Malinau kembali menegaskan jati dirinya sebagai kabupaten yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia, budaya, dan alam.(Tk12).