TERASKALTARA.ID, MALINAU – Suara gong berpadu dengan hentakan kaki para penari Dayak Tahol menggema di Panggung Budaya Padan Liu’ Burung, Senin (13/10/2025).
Penampilan memukau dari Lembaga Adat Dayak Tahol menjadi salah satu momen paling berkesan dalam rangkaian perayaan HUT ke-26 Kabupaten Malinau dan Festival Budaya IRAU ke-11 tahun 2025.
Sorotan utama pagi itu jatuh pada Tarian Lalatip, tarian sakral yang sarat makna sejarah dan spiritualitas.
Tarian ini bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi warisan budaya yang mengajarkan nilai ketangkasan, keberanian, dan kebersamaan masyarakat Dayak Tahol.
Ketua Adat Besar Dayak Tahol, AKP (Purn) Kalvianus Kilip Ukung, S.Pd., menjelaskan bahwa tarian Lalatip memiliki kisah panjang yang diyakini berasal dari ajaran seorang Luluyum pemuda dari kayangan yang turun ke bumi dan mengajarkan tarian ini kepada para pemuda dan pemudi Dayak Tahol.
“Gerakan tarian ini terinspirasi dari aktivitas menumbuk dan menampi padi saat pesta panen pertama. Dari situ lahirlah ritme, irama, dan langkah yang menggambarkan keharmonisan manusia dengan alam,” tutur Kalvianus.
Dalam sejarahnya, tarian Lalatip juga memiliki makna filosofis mendalam. Pada masa lalu, tarian ini dijadikan media latihan perang bagi para pemuda, melatih kecepatan, taktik, dan ketangkasan dalam menggunakan senjata tradisional seperti mandau, sumpit, dan perisai.
Sementara bagi para perempuan, tarian ini menjadi sarana membangun mental, ketahanan diri, dan kemampuan memanfaatkan alam sebagai sumber pengobatan.
“Setelah seorang pemuda dianggap lulus menarikan Lalatip, ia akan diberi gelar Kalawon, yang berarti pemuda perkasa dan siap berperang. Sedangkan bagi perempuan disebut Ruandu Atulai Asandong,” jelasnya.
Makna luhur dan nilai historis inilah yang menjadikan Tarian Lalatip ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 21 Agustus 2017 di Jakarta.
Di tengah ratusan para penonton, para penari Dayak Tahol menampilkan setiap gerakan dengan penuh wibawa.
Irama gong dan ketukan khas bambu berpadu menciptakan suasana magis yang membawa penonton seolah menembus waktu, kembali ke masa ketika tarian ini menjadi simbol kekuatan dan persaudaraan.
“Kami ingin generasi muda tahu bahwa setiap gerakan dalam tarian ini punya makna. Ini bukan sekadar tari hiburan, tetapi pengingat siapa kita dan dari mana kita berasal,” tambah Kalvianus.
Penampilan Lembaga Adat Dayak Tahol pagi itu bukan hanya memperkaya kemeriahan Festival IRAU ke-11, tetapi juga menjadi bukti bahwa warisan budaya leluhur tetap hidup dan terus diturunkan lintas generasi di Bumi Intimung.(Tk12).





