TERASKALTARA.ID, MALINAU – Suara ketukan besi terdengar nyaring di antara denting gong dan tiupan angin pagi yang lembut. “Tek… tek… tek…” Empat kali hentakan, tiga kali pengulangan begitu bunyi khas dari prosesi Lemarih, upacara adat Dayak Punan yang menandai penyambutan tamu terhormat, termasuk Bupati Malinau Wempi W. Mawa dan Ketua TP PKK Malinau, Maylenty Wempi bersama jajaran FKPD Malinau.

Di tengah sinar pagi, para penari dari sanggar seni menari dalam gerakan yang lembut tapi bertenaga, seolah menyambut roh leluhur yang turun bersama para tamu. Upacara Lemarih bukan sekadar tradisi penyambutan. Bagi masyarakat Dayak Punan, inilah simbol penghormatan tertinggi doa agar tamu tetap sehat, kuat, dan terlindung dari segala mara bahaya.
“Setiap bunyi logam yang saling beradu itu adalah doa. Suara besi bukan hanya bunyi, tapi simbol kekuatan dan keteguhan,” ujar Elison, Ketua Adat Dayak Punan Kabupaten Malinau.
Usai Lemarih, perhatian hadirin tertuju pada arena utama : ritual Mekan Tun Tano, upacara sakral yang merefleksikan hubungan suci manusia dengan alam. Dari rahim bumi, air mengalir, menumbuhkan benih kehidupan begitu filosofi yang dihidupi masyarakat Punan.
Dalam prosesi itu, para tetua adat dari berbagai daerah aliran sungai Tubu, Mentarang, Kayan Hilir, hingga Bengalun melakukan ritual bersama.

Mereka menabur darah ayam di tanah dan air sebagai simbol penyatuan unsur Tano (tanah) dan Ungei (air). Dua elemen yang menjadi sumber kehidupan sekaligus lambang keseimbangan semesta.
“Manusia diciptakan dari tanah, dan di tubuhnya mengalir air. Tanpa keduanya, tak ada kehidupan,” tutur salah satu tetua adat di sela prosesi.
Mereka percaya, ketika keseimbangan alam terganggu banjir, kekeringan, atau hilangnya satwa itu adalah tanda bahwa hubungan manusia dengan bumi tak lagi selaras. Karena itu, Mekan Tano menjadi doa bersama agar manusia kembali menyatu dengan alam, bukan menaklukkannya.
Ritual Mekan Tano kini jarang dilakukan. Banyak generasi muda yang menganggapnya kuno. Namun dalam momentum HUT ke-26 Kabupaten Malinau dan Festival Budaya IRAU ke-11 ini, tradisi tersebut dihidupkan kembali bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan refleksi ekologis dan spiritual.

“Pembangunan dan kesejahteraan boleh berjalan, tapi jangan sampai kita jadi asing di tanah sendiri,” ujar Elison, menutup prosesi dengan pesan yang menggugah.
Suasana hening sesaat. Hanya terdengar desir angin yang melewati daun dan langkah kaki yang menjauh perlahan. Di antara tanah yang disiram darah ayam, di atas batang pisang yang menjadi simbol bumi, tersisa makna yang dalam bahwa Dayak Punan tak pernah kehilangan jati dirinya sebagai penjaga bumi dan kehidupan.(Tk12).





